Selasa, 22 April 2014

Ini Bisa Jadi Musimnya Mereka

Ini Bisa Jadi Musimnya Mereka

Pangeran Siahaan - detikSport
Jumat, 18/04/2014 10:20 WIB
thumbnail Foto-foto: REUTERS
Prospek menyaksikan Steven Gerrard, dengan segala kebajikan dan ketulusan hatinya, mengangkat trofi Premier League tiba-tiba terlihat lebih menarik dibanding dengan alternatif yang mungkin terjadi.

Kemungkinan melihat SGerrard akhirnya bisa mencium piala, setelah bertahun-tahun hanya bisa mencium kamera, membuat kepala pusing bukan kepalang. Tapi setelah kemenangan melawan Manchester City akhir pekan lalu, kita semua tahu bahwa this could be their year -- ini bisa jadi musimnya mereka -- bukan lagi cuma kalimat pelipur hati yang lara.

"Listen. This is gone. We go to Norwich, exactly the same. We go together. Come on!"

Apa yang dikatakan dengan berapi-api oleh Steven Gerrard kepada rekan-rekannya usai peluit akhir di Anfield hari Minggu adalah sebuah pidato singkat nan inspirasional. Kalimat tersebut tak akan salah tempat jika diselipkan menjadi dialog film-film heroik olahraga Amerika seperti Remember The Titans atau Any Given Sunday. Pemilik Liverpool, John W. Henry yang orang Boston itu mungkin bisa menelepon Aaron Sorkin dan meminta penulis skenario kenamaan tersebut untuk menciptakan karakter fiktif berdasarkan kepemimpinan Stevie G.

Fans Manchester United yang menyaksikan video motivasi Gerrard tersebut pasti berharap bahwa Gerrard bukan pemain Liverpool karena jauh di dalam lubuk hati, mereka tahu bahwa orasi Gerrard tersebut adalah sesuatu yang keren. Oh betapa fans United mengharapkan ada pemain mereka yang bisa melakukan hal yang sama setiap pertandingan, membakar semangat tim dengan retorika dan kemampuan verbal yang memikat. Wayne Rooney? No chance.

Air mata Gerrard seusai pertandingan adalah air mata tanah perjanjian. Liverpool tak pernah sedekat ini dengan gelar juara Premier League dan terakhir kali mereka jadi juara liga adalah pada tahun 1989 saat Raheem Sterling saja belum lahir. Sekarang nasib Liverpool berada di tangan mereka sendiri. Terserah pada mereka jika mereka ingin menjuarai liga. Menangkan semua partai yang sisa dan tidak peduli betapa Manchester City tiba-tiba mengamuk dan membantai semua lawan dengan skor dua digit, trofi Premier League tetap akan bersemayam di sisi merah Merseyside.

Brendan Rodgers adalah figur yang istimewa karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, anda merasa sulit untuk tidak suka pada manajer Liverpool. Rafa Benitez kadang bisa sangat menggelikan dan tidak bisa ditolerir, dan "King" Kenny Dalglish di kesempatan keduanya menjadi manajer Liverpool terlihat seperti mengidap Post-Power Syndrome. Tapi Rodgers berbeda, ia terlihat menawan dan mudah disukai sehingga kita tidak akan mengungkit-ungkit lagi bagaimana ia mencoba terdengar seperti mahasiswa doktoral ilmu filsafat di Being Liverpool.

Berpeluang besar menjadi juara saat target yang ingin dicapai adalah masuk ke zona Liga Champions adalah pencapaian yang layak diberikan karangan bunga. Jika di awal musim anda mengatakan pada fans Liverpool bahwa di bulan April mereka akan berada di puncak klasemen, mereka akan menepuk dada jemawa sebelum terdiam karena sadar bahwa probabilitasnya tak besar. Bahkan fans Liverpool yang paling optimistis pun tahu bahwa, setelah kekecewaan lebih dari 2 dekade, mereka maklum jika di akhir musim mereka gagal lagi.

Tapi Rodgers, yang membawa Swansea City promosi ke Premier League tiga musim lalu dan menyihir seantero Britania Raya dengan tiki-taka bercitarasa Wales, menunjukkan dengan sempurna mengapa ia adalah The Carefully Chosen One.

Dari mana harus mulai memuji Rodgers?
Yang paling jelas, Luis Suarez. Striker asal Uruguay ini hanya mencetak 11 gol di musim penuh pertamanya bersama Liverpool. Di musim pertama Rodgers di Anfield, Suarez mencetak 23 gol di Premier League. Musim ini Suarez menjadi kandidat kuat menjadi pemain terbaik liga dengan 29 gol yang ditorehkannya meski ia absen di 5 pertandingan pertama. (FYI, dengan kelakuannya, saya selalu menganggap Suarez adalah homo sapiens yang memuakkan. Tapi sebagai seorang pesepakbola, ia adalah seniman).

Bukan kebetulan juga saat Rodgers mendatangkan Daniel Sturridge pada musim dingin 2013 yang langsung mencetak 10 musim lalu bagi Liverpool. Musim ini Sturridge menjadi tandem yang sepadan bagi Suarez dan, dengan kombinasi 49 gol yang dicetak keduanya musim ini, duet mereka adalah yang paling mematikan di liga. Sir Alex Ferguson mengatakan bahwa Sturridge adalah sebuah perjudian saat ditransfer dari Chelsea ke Liverpool. Katakan itu lagi kepada Rodgers sekarang dan ia pasti akan terkekeh-kekeh.

Pemain lain yang bersinar di tangan Rodgers adalah Jordan Henderson.

Okay, begini. Hampir setiap klub besar di Premier League punya satu gelandang muda Inggris yang over-rated dan over-priced. Man United punya Tom Cleverley (over-rated) Arsenal punya Jack Wilshere (Lebih hebat dari Cleverley, jelas, tapi tidak sehebat yang dipercaya banyak orang. Over-rated), Manchester City punya James Milner (tidak over-rated, tapi dengan harga 20 juta pounds, jelas over-priced), Everton punya Ross Barkley (belum jelas over-priced atau tidak karena belum dijual, tapi menyamakannya dengan Paul Gascoigne akan membuatnya over-rated. We’ve been here before. Satu nama: Joe Cole).

Di Liverpool, tadinya pemain jenis ini saya kira Jordan Henderson. Jangan lupa, Henderson datang ke Anfield di era yang sama dengan Andy Carroll dan Stewart Downing. Untuk sekian lama, trio pemain ini adalah Three Stooges dari Merseyside dengan performa yang berbanding terbalik dengan label harga mereka yang selangit. Mereka adalah posterboy rezim Kenny Dalglish yang awut-awutan itu.

Namun ada alasan mengapa Henderson masih berada di Liverpool ketika Carroll dan Downing sudah berada di Sam Allardyce's Long Ball Wonderland. Rodgers melihat potensi Henderson untuk menjadi box-to-box midfielder bagi Liverpool dan musim ini bekas pemain Sunderland tersebut berkembang pesat. Henderson menjadi keping yang tak terpisahkan sebagai dinamo lini tengah Liverpool.

Di musim yang sama Liverpool mendatangkan Henderson, Manchester United membeli Ashley Young dalam kisaran harga yang sama. Di musim ketiga mereka di klub masing-masing, yang satu telah membuktikan diri menjadi pemain yang hebat, sedang yang satu lagi menjadi, well, Ashley Young.

Kehebatan Rodgers juga terlihat dari bagaimana ia bisa membuat pemain seperti Raheem Sterling mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan bermain konsisten. Lagi-lagi masalah klasik dengan pemain muda Inggris adalah mereka kerap digadang terlalu tinggi saat kemampuan mereka sebenarnya sependek Tyrion Lannister.

Saat Sterling muncul ke permukaan musim lalu, tadinya saya pikir dia hanyalah tipikal pemain muda Inggris yang cepat berlari menyisir sayap tanpa fitur tambahan. One-trick pony. Aaron Lennon 2.0.

Lagi-lagi Rodgers menunjukkan kepiawaiannya dalam meramu taktik ketika usai tahun baru ia menggeser Sterling bermain ke tengah, di belakang striker yang membuat pemain berusia 19 tahun ini praktis menempati peran no 10. Bukti teranyar kesuksesan Sterling di posisi ini bisa terlihat saat partai melawan Man City kemarin itu.
Sebagai perbandingan, Tim Sherwood pernah mencoba memainkan Lennon di belakang striker ketika Tottenham Hotspur jumpa Chelsea dan hasilnya Lennon bermain lebih canggung dari ABG yang salah kostum saat prom night.

Problem terbesar Liverpool tentu saja adalah di lini belakang. Jumlah 42 gol yang mereka derita sejauh ini adalah yang terbanyak kedua di antara klub-klub 6 besar sesudah Tottenham. Bahkan ini lebih banyak dari Manchester United yang kebobolan 38 gol. Tapi selama mereka bisa mencetak lebih banyak gol dari lawan, tak akan ada masalah. Seperti Bank Century, Suarez dan Sturridge akan selalu mem-bail out Liverpool dari kesusahan.

Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh fans Liverpool setelah lebih dari 2 dekade penuh nelangsa. Dalam kurun waktu itu, sesuatu yang diasosiasikan dengan Liverpool hampir semua berbau komedi.

Dari jas putih di final Piala FA 1996 hingga rambut kuncir Andriy Voronin. Tapi gol bunuh diri terbaik sepanjang masa Djimi Traore hingga gol bola voli pantai ke gawang Pepe Reina. Hal itu akan berubah tahun ini.

Untuk pertama kalinya di era Premier League, kalimat klasik para Liverpudlian "This Could Be Our Year" -- Ini bisa jadi tahun kita -- bisa diucapkan tanpa ironi. Mereka layak mendapatkannya.

Tapi lepas daripada itu, saya tak tahu bagaimana alam bawah sadar saya akan bereaksi jika melihat Steven Gerrard mengangkat trofi Premier League. Sebagai langkah pencegahan, saya telah membuat janji dengan psikiater seandainya itu membuat saya depresi akut.



====

* Penulis adalah satiris dan presenter olahraga. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan

Senin, 21 April 2014

Liga Inggris: Liverpool 3-2 Man City Ketajaman 4-4-2 Diamond Liverpool dan Substitusi City yang Berhasil

Ketajaman 4-4-2 Diamond Liverpool dan Substitusi City yang Berhasil

Pandit Football Indonesia - detikSport
Senin, 14/04/2014 13:46 WIB
 
Liverpool terus mendekatkan dirinya ke tangga juara setelah sukses mengalahkan salah satu saingan terberat, Manchester City, dalam pertarungan yang sangat sengit di Anfield.

Gol Philippe Coutinho di menit ke-78 membuat Liverpool dapat menutup laga dengan kemenangan tipis 3-2 dan ereka tetap berada di puncak klasemen sementara.

Dalam hal permainan, kedua tim tidak mengecewakan fansnya. Liverpool dan City mampu menghadirkan tensi pertandingan yang hampir tidak pernah turun selama 90 menit, yang menghasilkan cukup banyak pula.

Susunan Pemain

Brendan Rodgers menurunkan skuat sama yang diturunkan saat melawan West Ham. Hanya saja kali ini ia kembali menggunakan formasi 4-4-2 diamond dengan Raheem Sterling berada di belakang duet striker Luis Suarez dan Daniel Sturridge.

Liverpool mampu menurunkan starting line-up terbaiknya. Hanya Daniel Agger yang mesti absen karena belum kembali ke kondisi maksimalnya, dan Rodgers memilih Mamadou Sakho sebagai penggantinya.

Di kubu City, 3 pemain kunci yang sempat diragukan tampil pada pertandingan ini akhirnya dapat diturunkan. Yaya Toure dan Vincent Kompany masuk ke dalam tim inti, sedangkan Sergio Aguero bisa dimainkan pula di babak kedua.

Tapi keputusan Manuel Pellegrini ini sedikit berbuah blunder karena Toure hanya sanggup bermain hingga menit ke-19. Sementara itu Kompany, sang kapten yang biasanya diandalkan, malah melakukan 3 kesalahan dalam kettiga gol Liverpool.




Memulai dengan Tempo Tinggi
 Liverpool memulai pertandingan dengan sangat gemilang. Pada fase-fase awal, mereka mampu memegang kendali permainan dan sukses mencetak dua gol dalam 26 menit pertama. Permainan bola-bola pendek dikombinasikan dengan kecepatan dalam menyerang balik juga berhasil dijalankan dengan baik.

Sepanjang musim Liverpool memang sering memulai pertandingan dengan tempo tinggi yang mampu merepotkan lawan. Dari total 93 gol yang telah dibuat, 36%-nya terjadi pada 30 menit awal.

Kali ini, pada 25 menit pertama, Liverpool melepaskan 124 umpan sukses dari total 175 operan, sementara City hanya membuat 124 umpan dan hanya 90 yang berhasil. Penguasaan bola ini disertai dengan 5 attempt ke gawang Joe Hart, sementara City hanya mencatatkan 1 shot off target.

Kelengahan Tiga Bek City


Kedua fullback City, Gael Clichy dan Pablo Zabaleta, bermain dengan tidak simetris. Clichy bermain lebih ke depan untuk membantu dan meng-cover Samir Nasri yang lebih sering menusuk ke tengah. Sementara itu, Zabaleta tidak perlu naik terlalu jauh karena Jesu Navas bermain sebagai sayap murni yang menyisir pinggir lapangan.

Skema ini membuat City bermain dengan 3 bek ketika menerima serangan balik dari Liverpool. Zabaleta akan sedikit bergeser ke tengah untuk membentuk 3 bek bersama Kompany dan Martin Demichelis.

Tahu bahwa serangan balik Liverpool sangat berbahaya, Pellegrini kemudian menempatkan Fernandinho di depan lini pertahahanan.

Namun, yang terjadi di lapangan tidak semulus apa yang diinginkan Pellegrini. Saat terjadi serangan balik, Fernandinho berdiri terlalu jauh sehingga tidak dapat menutup pergerakan para penyerang Liverpool. Penyebabnya adalah Fernandinho harus menghadapi Sterling dan Coutinho sekaligus, karena Yaya Toure berhadapan dengan Jordan Henderson.

Tiga bek City kemudian juga melakukan sedikit kelengahan. Pergerakan Coutinho yang masuk dari sisi kiri pertahanan City membuat Demichelis membuka celah. Akibatnya, Suarez dapat melepaskan umpan terobosan kepada Sterling, yang tidak mampu terkawal Kompany karena telat beberapa langkah. Sterling lebih cepat masuk ke ruang kosong sebelum akhirnya kembali mengecoh Kompany untuk mencetak gol pertama.

Melihat kondisi ini Liverpool kemudian cenderung memulai serangan balik dari sisi sayap. Suarez maupun Sturridge berdiri melebar dan siap menerima bola clearance untuk langsung bersiap melakukan serangan balik. Terlihat dari chalkboard passing Liverpool hingga menit ke-26, Gerrard dkk cenderung melepaskan bola ke sisi kanan maupun kiri pertahanan City.  

[Passing Liverpool hingga menit ke 26. Sumber: fourfourtwo.com]

Perpindahan Arah Serangan City

Tertinggal 2 gol dalam waktu 26 menit membuat Pellegrini harus melakukan sesuatu. Apalagi satu-satunya serangan City pada periode waktu itu lahir dari tendangan yang tidak tepat sasaran dari Yaya Toure.

Namun kemudian, dari menit ke-25 hingga ke-45, City mulai bangkit dan bisa melakukan 6 kali usaha mencetak gol. Hal ini terjadi akibat Pellegrini menggeser arah serangannya ke sisi kanan. Caranya adalah dengan menggeser David Silva ke kanan, sementara Nasri dipindahkan jadi gelandang serang tengah.

Dengan skema ini serangan City dari sisi kanan menjadi lebih bervariatif. Adanya tambahan 2 personel City yang berkumpul di sisi kanan juga membuat Jon Flannagan dan Henderson kewalahan menjaga sisi kiri pertahanan Liverpool.

Hasilnya, satu umpan silang Navas dari kanan tepat mengarah ke Fernandinho yang berdiri bebas di kotak penalti. Beruntung bagi Liverpool Mignolet dapat dengan sigap menepis tendangan first time Fernandinho.

Perbandingan chalkboard operan City pada menit 0-25 dan 25-45 menunjukan perubahan arah serangan City dari sisi kiri ke sisi kanan.





[Operan City menit 0-25 (atas) dan 25-45 (bawah). Sumber: fourfourtwo.com]
 
Kebangkitan City di Babak Kedua

Meski harus menutup babak pertama dengan tertinggal 2 gol, Pellegrini masih bisa melihat keropos pada pertahanan Liverpool. Serangan pada melalui sisi kanan cukup efektif untuk menembus pertahanan Sakho.

Namun ada sedikit masalah dengan Silva bermain ke pinggir. Pemain City yang masuk ke kotak penalti Liverpool menjadi lebih berkurang, terutama karena Navas lebih sering berada di pinggir lapangan.

Masuknya James Milner menjadi solusi akan permasalahan ini. Milner adalah pemain sayap yang memiliki kemampuan untuk menyisir sisi sayap, seperti Navas, namun juga dapat fleksibel untuk menusuk masuk ke kotak penalti.

Masuknya Milner juga membuat Silva tidak perlu bergeser terlalu ke pinggir untuk membantu serangan pada sisi kanan. Dengan bantuan overlap dari Zabaleta, yang juga mulai meninggalkan posnya, City jadi menang jumlah pemain di sisi kanan.

Hasil dari perubahan ini langsung terlihat selang 7 menit sejak Milner masuk menggantikan Navas. Tusukan Milner ke kotak penalti Liverpool berhasil mencipatakan ruang bagi Silva, yang kemudian dengan mudah meneruskan dan mengubahnya menjadi gol pertama City

Empat menit setelahnya, dengan skema yang hampir serupa, Silva dan Nasri mengobrak-abrik pertahanan Liverpool yang mulai panik setelah gol pertama. Melalui sisi kiri pertahanan Liverpool Silva melepaskan umpan silang ke tengah. Glen Johnson yang bermaksud menghalau bola justru membuat bola tersebut berbelok ke gawang Mignolet.

Substitusi Liverpool

Pasca gol kedua City, Sturridge mengalami cedera sehingga Rodgers menariknya keluar dan memasukkan Joe Allen. Formasi Liverpool pun berubah menjadi 4-3-3 dengan Allen mendampingi Henderson dan Gerrard di tengah, sementara posisi Coutinho sedikit naik ke depan.

Serangan Liverpool memang menjadi lebih berbahaya dengan formasi ini. Namun pola ini juga membuat pertahanan Liverpool lebih rentan terhadap bahaya. Ditambah lagi mental pemain City, yang bangkit setelah berhasil menyamakan kedudukan, membuat serangan sayap City semakin berbahaya.   
 Ternyata, keputusan Brendan Rodgers ini berbuah manis. Berawal dari lemparan ke dalam, Kompany gagal melakukan clearance dengan sempurna. Bola liar yang bergulir di kotak penalti City kemudian dapat dimaksimalkan oleh Coutinho dan membuat Liverpool kembali unggul 3-2. Skor ini tidak berubah hingga akhir pertandingan.

Kesimpulan

Liverpool dan City saling bergantian dalam menguasai pertandingan. Liverpool dengan formasi 4-4-2 diamond yang bertumpu pada Sterling mampu merepotkan barisan pertahanan City dan mencetak dua gol dalam 26 menit. Sementara itu, City mampu menyamakan kedudukan setelah melakukan substitusi, yaitu menggantikan Milner dengan Navas, dan menyerang dengan bertumpu pada sayap kanan.

Masalah pertahanan Liverpool, yang ada sejak awal musim, masih belum juga terpecahkan oleh Rodgers. Liverpool memang sangat berbahaya ketika menyerang, namun juga lemah saat bertahan. Dua gol City merupakan bukti dari hal ini. Beruntung Liverpool memiliki Coutinho, yang dengan tenang mampu melepaskan gol kemenangan menjelang periode akhir pertandingan.

Menang atas rival terberat dalam perebutan gelar juara tentu bisa jadi dorongan mental yang baik bagi Gerrard dkk. Tapi belum berarti perjuangan mereka akan lebih mudah. City dan Chelsea akan terus mengintai hingga akhir musim dan siap menggeser "Si Merah" jika lengah.


===

* Dianalisis oleh Pandit Football Indonesia. Akun twitter: @panditfootball

Liga Champions: Atletico 1-0 Barcelona Kesuksesan Simeone Mengantisipasi Taktik False 9 Martino

Kesuksesan Simeone Mengantisipasi Taktik False 9 Martino

Pandit Football Indonesia - detikSport
Kamis, 10/04/2014 16:30 WIB
 
Atletico Madrid membuat sensasi dengan lolos ke babak semifinal Liga Champions untuk pertama kalinya dalam 40 tahun terakhir. Mereka membuat sensasi ini dengan menyingkirkan Barcelona.

Setelah menahan rivalnya itu 1-1 di Camp Nou, pasukan Diego Simeone itu berhasil menaklukkan Barca dengan skor 1-0 di Vicente Calderon tadi malam.

Gol cepat Koke di menit kelima menjadi salah satu kunci kemenangan Atleti. Selain itu sistem pertahanan sempurna yang dibangun Simeone membuat Barcelona kesulitan memasuki area sepertiga akhir.

Seperti biasa, Barca memang lebih banyak menguasai jalannya pertandingan. Namun hal ini bukan berarti Atletico bermain bertahan. Bahkan sang tuan rumah mampu unggul dalam penciptaan peluang dan sangat merepotkan pertahanan lawannya dengan serangan-serangan baliknya.

Barca melakukan 12 kali tembakan dengan hanya 3 yang mencapai sasaran, berbanding 15 shot (5 on target) untuk Atletico. Bahkan, pertandingan baru berjalan 18 menit saja para penyerang Atletico sudah 3 kali melesakkan attempt yang membentur gawang.



Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, susunan pemain kedua tim tidak banyak berubah. Tapi di laga ini berbeda karena selain faktor absennya beberapa pemain (Atletico), pergantian taktik yang dimainkan kedua pelatih juga turut menjadi faktor berubahnya susunan line-up.

Barca mempunyai masalah serius di lini belakang menyusul absennya Gerard Pique yang menderita cedera pada pertemuan pertama lalu. Masalahnya, bek muda Marc Bartra belum begitu padu berduet dengan Javier Mascherano. Selebihnya, Tata Martino menurunkan pemain-pemain yang sama, meski dalam formasi yang berbeda.

Utak-atik paling mencolok adalah dengan Fabregas yang dipasang menjadi false 9. Ia didampingi Messi dan Neymar yang menjadi penyerang kanan dan kiri dalam formasi 4-3-3. Penempatan Fabregas sebagai false 9 sebenarnya mendulang kritik dari banyak orang, karena ia dianggap kurang bisa memberikan ketajaman pada lini depan Barca.

Tapi mungkin saja strategi itu dikarenakan Tata berharap pada kemampuan Fabregas dalam memberikan umpan terobosan untuk menembus lini pertahanan Atletico. Hingga saat ini, Fabregas memang tercatat sebagai pembuat assist terbanyak Blaugrana dengan 13 kali.
Hal menarik lainnya adalah bagaimana Simeone telah mengantisipasi taktik yang diterapkan Tata. Sebelum pertandingan, muncul kabar dari berbagai media bahwa Barca berlatih dengan menempatkan Fabregas sebagai false 9. Kabar yang ternyata sama dengan kenyataan di lapangan.

Simeone mengubah pola permainan 4-4-2 ke formasi 4-3-3 dengan kecenderungan lebih bertahan. Absennya Diego Costa dan Arda Turan memang membuat Simeone harus memikirkan taktik lainnya. Strategi menumpuk pemain di tengah yang dipakai juga mampu menghambat laju bola Barcelona. Tak heran jika pasukan Los Cules masih kerap kesulitan memasuki area sepertiga akhir.

Dua Rintangan dari Atletico

Atletico memang menerapkan strategi bertahan. Tapi bukan hanya dengan menumpuk pemain di area sendiri. Mulai dari zona pertahanan Barcelona, para penyerang Atletico sudah melakukan tekanan dan coba merebut bola secepat mungkin. Mereka seolah terlihat menerapkan strategi high-pressing meski tidak diikuti dengan high defensive line.

Kunci untuk melakukan permainan ini adalah: ketika bola gagal direbut dan Barca sudah memasuki area Atletico, para gelandang dengan segera akan membentuk tembok pertahanan di depan empat bek. Transisi bertahan yang cepat ini lah yang jadi keunggulan Atletico.


[Grafik tekel Atletico, agresif di tengah - statszone]

Pada fase ini, seperti biasa, Barcelona akan menguasai bola sepenuhnya dan pemain Atletico hanya menunggu bola di belakang. Meski begitu, berkat kemampuan Koke, Tiago, dan Gabi dalam membaca bola, banyak umpan-umpan Barcelona yang gagal masuk ke sepertiga akhir. Ini karena para gelandang tersebut fasih melakukan intersepsi.


[Grafik intersepsi Atletico - statszone]

Salah satu rahasia sukses bagaimana Atletico tetap mendapat banyak peluang meski tertekan adalah disiplinnya para gelandang mereka. Sesegera mungkin mereka akan berusaha merebut bola yang dikuasai Barca.

Agresifnya permainan Atletico juga membuat Barca harus memecahkan dua rintangan di atas: tekanan yang diberikan di area mereka sendiri dan solidnya tembok pertahanan lawan. Keadaan ini memaksa Barca sesekali harus bermain bola-bola panjang agar dapat terus mengalirkan permainan.
 
Kondisi ini diperparah dengan buruknya kemampuan duel bola udara Barcelona, sehingga banyak kesempatan yang membuat Barca kehilangan penguasaan bola. Dari 27 duel udara, 20 diantaranya dimenangkan oleh Atletico dengan mayoritas area duel terjadi di tengah.

Pada 15 menit pertama Atletico bahkan tidak terlihat bertahan ultra-defensive meski sudah unggul cepat melalui gol Koke. Ketika menyerang, bisa ada 6 pemain berada di area sepertiga akhir. Maka, tidak heran jika pada awal-awal pertandingan tuan rumah lebih mampu menciptakan banyak peluang.

Taktik Penempatan Fabregas yang Mudah Terbaca

Menempatkan Fabregas sebagai false 9 dengan diapit Neymar dan Messi terbukti gagal, meski posisi ini merupakan salah satu keahlian Fabregas, baik di timnas Spanyol maupun sekarang di Barcelona. Bahkan saat pertemuan melawan Atletico pada Januari lalu, posisi ini juga yang ditempati oleh Fabregas.

Salah satu penyebab hal tersebut adalah rapatnya para pemain bertahan Atletico. Harapan agar Barca bisa membuka celah bagi Fabregas lewat akselerasi Messi ataupun Neymar juga kandas.

Justru yang terjadi adalah posisi Neymar dan Messi yang rapat ke tengah karena memang jarang terdapat pemain Barca di dalam kotak penalti. Umpan-umpan ajaib yang biasa diperagakan Barcelona juga tidak terlihat.

Diharapkan mencetak gol melalui "coming from behind", Fabregas malah tidak banyak menghasilkan peluang. Tercatat ia hanya membuat dua: satu peluang lewat luar kotak penalti dan satu tendangan yang diblok.

Iniesta yang seharusnya bertugas memanjakan lini depan Barca malah lebih banyak berada melebar di sayap kiri. Satu-satunya jalan bagi gelandang Blaugrana ini agar tiki-taka dapat terus berjalan memang dengan melebar.

Kondisi tersebut juga membuat timpangnya cara menyerang Barcelona, dengan lebih banyak bertumpu pada Neymar dan Iniesta di sisi kiri.

Man Of The Match: Koke
Ada satu kekhawatiran terhadap lini depan Atletico ketika pencetak tujuh gol di Liga Champions musim ini, Diego Costa, harus absen. Namun, melihat performa sektor depan The Red and Whites pada pertandingan kali ini, para pendukung mereka dapat tersenyum lega.

Simeone sangat paham bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada dan membaca permainan dengan baik. Pertahanan Barcelona dibuat tak berdaya dengan menerima gempuran-gempuran dari David Villa dkk.

Selain sektor depan yang memang unggul dalam hal berduel perebutan bola. Terdapat satu nama yang patut diberikan apresiasi, yakni Koke. Pemain muda Spanyol berusia 22 tahun tersebut layak diberikan gelar man of the match.

Tidak hanya mencetak gol tunggal yang menjadi kunci kemenangan Atletico, ia juga mampu jadi penyeimbang lini tengah. Koke menjadi alternatif serangan Atleti selain melalui serangan balik bola-bola panjang.


[Grafik umpan sepertiga akhir Atletico – statszone]

Kesimpulan


Atletico memiliki pola transisi yang baik terutama dari menyerang ke bertahan. Selain itu, taktik yang diterapkan oleh Simeone juga terbukti berhasil memutus alur serangan antarlini Barcelona.

Cara tuan rumah bertahan dari serangan Barca juga patut diberikan apresiasi. Tim tamu harus menghadapi dua lapis pertahanan sekaligus, yakni pressing ketat di area Barca, dan dapat segera melakukan transisi ke formasi bertahan ketika berada di area sendiri.

Tapi ini tidak berarti Atletico hanya puas bertahan. Melalui serangan balik dengan bola-bola panjang yang diarahkan ke area Alba-Mascherano, Atletico mampu berkali-kali menembus lini pertahanan Barcelona.

Sedangkan Blaugrana terbukti gagal menempatkan Fabregas sebagai seorang false 9. Lini tengah Atletico terlalu kuat untuk ditembus umpan-umpan terobosan yang biasa dilakukan Xavi dkk. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah buruknya kinerja lini belakang Barcelona.

Penampilan Bartra masih belum padu dengan Mascherano sehingga ketiadaan Pique juga sangat terasa. Barcelona memang agak keras kepala ketika tidak melakukan perburuan di lini belakang. Apalagi dengan hukuman larangan transfer yang harus mereka terima. Pertahanan Barcelona bisa jadi sangat keropos pada musim depan. 

Copa del Rey: Real Madrid 2 - 1 Barcelona Menundukkan Barcelona dengan Di Maria sebagai Pusat Serangan

Menundukkan Barcelona dengan Di Maria sebagai Pusat Serangan

Pandit Football Indonesia - detikSport
Kamis, 17/04/2014 15:09 WIB

Real Madrid berhasil menjuarai Copa del Rey sekaligus meraih trofi pertama mereka musim ini. Mereka menundukkan musuh bebuyutannya, Barcelona, dengan skor 2-1. Kemenangan ini membuat Real Madrid kini berpeluang untuk meraih treble winner.

Sedangkan bagi kubu Barcelona, kekalahan ini adalah yang ketiga secara beruntun. Tersingkir dari Liga Champions, poin La Liga yang semakin menjauh dari Atletico, hingga sekarang menyerahkan gelar Copa del Rey kepada Real Madrid, setidaknya bisa jadi gambaran bagaimana terpuruknya Blaugrana dalam dua minggu terakhir.

Terlepas dari permasalahan performa Barcelona, laga El Clasico semalam tetap menarik untuk disimak, seperti halnya pertandingan-pertandingan antar Real dan Barca sebelumnya. Saling membalas gol hingga perselisihan antar pemain mewarnai jalannya pertandingan.



Di Maria sebagai Pusat Permainan Menyerang

Lini depan Real Madrid tidak terlalu terpengaruh dengan absennya Ronaldo, seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Barisan penyerang El Real justru bermain lebih bebas tanpa ada individu yang menonjol.

Tiga pemain di depan, yakni Bale, Di Maria, dan Benzema sebenarnya bermain sangat cair dalam pertandingan kali ini. Ditilik secara posisi, ketiga pemain tersebut seringkali bertukar tempat. Hanya saja, mereka berbagi peran dalam permainan.

Di Maria bertugas untuk jadi seorang playmaker, terutama saat Real Madrid sedang menguasai bola dan dalam kondisi menyerang. Sementara itu, Bale bertugas murni sebagai seorang targetman, tanpa banyak berperan dalam membangun serangan dari awal. Catatan jumlah umpan yang dilakukan Bale juga terendah di antara pemain lain yang menjadi starter, yakni hanya 22 kali.

Dalam membangun serangan, Di Maria sendiri lebih banyak bekerjasama membangun serangan dengan Di Maria. Benzema membuka ruang untuk menerima umpan, sementara Di Maria banyak memegang bola saat berada di area sepertiga akhir.

Tidak jarang Di Maria juga ikut turun ke tengah sebagai tembok pemantul dalam umpan 1-2 Real Madrid. Cairnya pergerakan trio penyerang El Real kali ini juga terlihat pada gol pertama yang dicetak Di Maria.
Menerima umpan pada area tengah lapangan, Di Maria bergerak melebar ke kiri untuk memberi ruang bagi Bale yang berlari dari tengah ke kanan. Namun, karena pertahanan Barca yang memang rapuh, Di Maria tak perlu memberikan bola kepada rekannya tersebut dan tinggal menceploskan ke gawang.



Seretnya Aliran Bola Barcelona

Selama babak pertama, Barca terlihat kesulitan memasuki kotak penalti Real Madrid, meski dari catatan statistik mengimbangi Real. Umpan terobosan yang biasa menjadi andalan tidak bisa dilakukan. Hal ini karena minimnya pergerakan penyerang Blaugrana dalam membuka ruang.



Keadaan di atas membuat Barca harus masuk melalui sayap sehingga umpan silang yang dilakukan oleh anak asuh Tata Martino juga meningkat. Skema ini sebenarnya belum bisa diandalkan, karena Messi yang bermain di tengah justru jarang masuk ke kotak penalti.

Pada El Clasico kali ini total Barca melakukan 30 kali umpan silang. Padahal rataan mereka musim ini hanya 18 kali, atau meningkat hampir dua kali lipat.

Posisi pemain Real Madrid, yang menggantung tiga pemain di depan untuk melakukan serangan balik, memang membuat area sayap mereka lebih rentan untuk diserang. Tak heran full back Los Galacticos jarang sekali maju membantu serangan.

Tapi Tata Martino nyatanya tidak mampu menyiapkan taktik yang sesuai untuk mengeksploitasi kelemahan Real Madrid ini. Iniesta, yang ditempatkan di sayap kiri, justru menjadi hambatan bagi Barca untuk menyerang. Kehadirannya hanya berpengaruh pada penguasaan possesion bagi Barca.

Blaugrana seolah tidak memiliki "tenaga" untuk mendorong bola dengan cepat ke depan. Ini diperparah dengan Neymar yang lebih sering mengisi pos kosong di tengah, yang ditinggalkan oleh Messi saat ia bergerak turun. Padahal, menyisir sayap untuk kemudian memberi umpan tarik/melakukan tendangan adalah salah satu keahlian pemain Brasil tersebut.

Entah apa yang mengganggu benak Lionel Messi, sehingga sepanjang 90 menit posisinya lebih sering jauh dari bola. Ia sering terlambat naik saat menyerang, dan juga saat bertahan atau sedang membangun permainan.

Salah satu puncaknya adalah mendekati menit akhir pertandingan. Barca yang berpeluang memenangi laga justru gagal saat menyerang. Terdapat momen ketika Messi hampir tidak bergerak padahal para pemain Barca menguasai bola di sepertiga akhir.





Mengalahkan Barca dengan Cara Atletico

Apa yang dilakukan oleh Carlo Ancelotti hampir sama dengan taktik Simeone saat memimpin Atletico mengalahkan Barca pekan lalu. Ia membuat Real melakukan pressing ketika bola masih berada di area pertahanan Barcelona, namun turun dengan rapat saat bola sudah masuk ke daerah Real Madrid.

Skema ini mampu memutus aliran bola dari belakang ke lini tengah Barcelona. Taktik ini juga memaksa dua bek tengah, Bartra dan Mascherano, untuk mengirim bola melalui umpan-umpan panjang.

Petaka bagi Barca karena gelandang El Real sedang dalam performa puncak kali ini. Xabi Alonso, Modric, dan Isco mampu melindungi empat bek Madrid dengan baik. Bahkan, saat menyerang, tak jarang Modric dan Isco juga ikut membantu ke depan. Instruksi yang diberikan oleh Ancelotti sepertinya juga berjalan dengan mulus.

Meski secara penguasaan bola Barca lebih unggul, namun secara kinerja mereka terlihat kalah dari El Real. Pertahanan zona yang diterapkan oleh Blaugrana gampang ditembus dengan cairnya pergerakan trio striker dan dua gelandang Madrid diatas.

Sementara itu, para gelandang Barcelona justru terlihat banyak menumpuk ketika mendekati area sepertiga akhir. Perubahan baru terlihat saat Fabregas ditarik keluar digantikan oleh Pedro pada menit ke-60.
Tata Terlambat Mengganti Pemain

Semua masalah-masalah di atas sebenarnya sudah nampak jelas pada babak pertama. Namun, sepertinya Tata terlambat dalam melakukan perubahan skema.

Dilihat dari susunan pemain yang diturunkan, sebenarnya Barca sudah mampu mengubah taktik tanpa mengganti pemain saat pergantian babak. Yakni dengan mendorong Fabregas ke depan dan menggeser Neymar ke kiri serta Messi fokus di kanan. Tapi pergantian ini belum menghasilkan hal yang positif mengingat karena performa Messi yang buruk sepanjang pertandingan.

Masuknya Pedro menggantikan Fabregas membuat Barca bisa melebarkan permainan. Saat lini tengah sulit untuk ditembus, Barca memiliki alternatif lain yaitu masuk melalui kedua sayap. Di luar dari gol balasan yang melalui tendangan pojok, masuknya Pedro membuat Barca menjadi lebih mudah masuk ke area sepertiga akhir.

Pindahnya Neymar di kiri juga membuat Di Maria menjadi tertahan dan banyak berada di area sendiri. Akibatnya, salah satu kekuatan Madrid di awal pertandingan, yakni serangan balik, menjadi tersendat.

Berbeda dengan Tata, Ancelotti tidak perlu ambil pusing karena memang pelatih lawan tidak banyak mengubah skema. Pergantian-pergantian yang dilakukannya juga untuk sekedar mengamankan skor selepas gol penentu yang dicetak Bale pada menit 85.

Kesimpulan

Barcelona seperti tidak belajar pada dua kekalahan sebelumnya saat melawan Atleti dan Granada. Tata seolah tidak menyiapkan skema yang bisa mengejutkan lawan. Peluang itulah yang dipelajari oleh Ancelotti untuk mengalahkan Blaugrana.

Selain cermat dalam mengamati kelemahan lawan, Don Carlo juga piawai dalam menyiasati ketiadaan Ronaldo. Taktiknya dengan penempatan Di Maria untuk menggantikan posisi salah satu bintangnya tersebut juga berjalan dengan baik. Demikian pula dengan mengadopsi taktik Atletico, sehingga mampu meredam aliran bola Barcelona mulai dari tengah lapangan.

Ini berbeda dengan Barcelona. Salah satu pertanyaan besar dalam pertandingan ini adalah performa buruk Messi sepanjang pertandingan. Striker asal Argentina tersebut bahkan terkesan setengah hati saat bermain.

Jumat, 04 April 2014

Spurs Remuk karena Kesalahan Pilihan Taktik Tim Sherwood

Liga Inggris: Liverpool 4-0 Tottenham

Pandit Football Indonesia - detikSport
Senin, 31/03/2014 14:35 WIB
 

Tiki Taka Barcelona vs Tekel Tekel Atletico Edisi ke-4: Kembali Imbang

Liga Champions: Barcelona 1-1 Atletico Madrid

Pandit Football Indonesia - detikSport
Rabu, 02/04/2014 18:38 WIB
http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2014/04/02/175247/2543638/1480/tiki-taka-barcelona-vs-tekel-tekel-atletico-edisi-ke-4-kembali-imbang
 
thumbnail 
 Getty Images/Albert Llop

Atletico Madrid bermain imbang melawan Barcelona di leg pertama Liga Champions. Hasil itu didapat dengan cara bermain seperti tiga laga sebelumnya; yakni zonal marking dengan hujan tekel.

Atletico sukses memetik hasil imbang 1-1 saat berduel melawan El Barca di Nou Camp, Rabu (2/4/2014) dini hari WIB. Mereka pun sukses mencuri gol tandang hingga tinggal butuh hasil imbang 0-0 untuk lolos ke babak semifinal.

Line Up Tetap Atletico

Menahan imbang Barca pada tiga pertemuan sebelumnya (dua kali di Piala Super Spanyol dan satu kali di La Liga), Diego Simione terlihat paham betul cara untuk meredam serangan Los Cules. Tak heran jika ia menurunkan formasi yang sama untuk menjalankan taktiknya.

Bahkan, susunan pemain dari skema 4-4-2-nya kali ini persis dengan starter pada laga La Liga 11 Januari lalu. Tak ada satu pun yang berubah, baik dari segi peran dan posisi.

Sementara itu, skuat asuhan Gerardo ‘Tata’ Martino sebenarnya lebih kuat. Lionel Messi yang pada 11 Januari lalu berangkat dari bangku cadangan, kini turun dari awal. Kehadiran Messi membuat Fabregas sedikit mundur ke belakang dan Pedro dibangku-cadangkan, sedangkan Iniesta beroperasi di sayap kiri.



Kedua tim sebenarnya sama-sama melakukan pergantian pemain pada menit-menit awal pertandingan, karena adanya pemain yang cedera. Tapi, pergantian ini tak banyak mengubah rencana kedua pelatih karena substitusi juga lebih bersifat apple to apple, mengganti pemain pada posisi yang sama.

Keuntungan pergantian menit awal ini menjadi milik Atletico. Di kubu Barca, center back muda, Marc Batra, memang mampu menggantikan peran Gerard Pique untuk merapatkan barisan pertahanan. Tapi, masuknya Diego Ribas, yang menggantikan Diego Costa yang cedera, mampu mencetak gol cantik dari luar kotak penalti.

Zonal Marking Ketat Plus Tekel Perusak Tiki-Taka
Dengan sistem zonal marking, Simeone seolah sengaja menantang Barca dan berkata, 'silakan bermain-main dengan possession-mu, tapi coba lewati kami kalau bisa.' Los Colchoneros sendiri diinstruksikan untuk tetap bertahan disiplin di posisinya.

Tapi, jika ada pemain Barca yang mendekat, mesti dihentikan dengan tekel keras. Hasilnya, tiki-taka Barca pun rusak. Belum sempat untuk mengatur skema umpan, pemain Barca sudah terjatuh duluan.

Terlebih lagi, rusaknya tiki-taka Barca ini lebih banyak terjadi di area sepertiga akhir lapangan, sehingga kreasi peluang mereka berkurang.

Barca kemudian menggunakan alternatif lain, yaitu mengandalkan skill individu pemainnya. Namun lagi-lagi buntu karena tekel demi tekel yang dilancarkan Atletico. Dari gambar di bawah ini terlihat, usaha take on (aksi melewati pemain lawan) Barca gagal selama 19 kali karena tekel tekel yang dilancarkan Atletico.


(Gambar Take On Barca)
Sepanjang 90 menit, Atletico total melakukan 78 tekel. Dari jumlah tersebut, 35 tekel sukses dilakukan, 19 gagal merebut bola, dan 24 berujung pelanggaran.

Selain karena tekel, tiki-taka dan opsi aksi individu Barca di atas gagal karena disiplinnya pemain-pemain Atletico dalam menjaga pertahanan daerahnya.

Terbukti, Atletico sukses 21 kali melakukan intersepsi, yang 19 di antaranya dilakukan di daerah pertahanan sendiri. Jumlah intersepsi di daerah pertahanan sendiri itu lebih banyak tujuh kali ketimbang yang dilakukan Barca.


(Gambar Defensive Dashboard Atletico Madrid)


Dari gambar di atas juga terlihat bagaimana Atletico berani untuk langsung menghentikan lawan di daerah pertahanan Barcelona. Hal ini dimaksudkan Simoene agar dapat secepatnya mendapatkan peluang melalui serangan balik.

Namun, taktik ini gagal karena terlampau kerasnya sliding tackle yang dilakukan oleh para pemain Atletico sendiri. Dengan total delapan pelanggaran yang tercipta di area lawan, cara ini pun terkesan malah melahirkan pelanggaran yang tak perlu.

Atletico pun mau tak mau harus menanggung akibatnya. Dari total 24 pelanggaran yang mereka lakukan, enam pemain Atletico harus rela diganjar kartu kuning. Hal ini tentu sedikit beresiko mengingat format sistem turnamen seperti ini.

Andai tekel mereka lebih tenang dan bersih, serangan balik yang diinginkan Simeone bisa saja tercipta dan tak berbuntut kartu peringatan.
Dari average position kedua tim, terlihat jika Atletico disiplin dalam menerapkan sistem pertahanan mereka. Meski mereka dikurung Barcelona, dua center back Atleti tetap setia bertahan di posisinya.



Bagaimana Atletico Menyerang?

Serangan balik adalah jawaban dari pertanyaan di atas. Melawan tim-tim yang gemar menguasai bola seperti Barcelona, jalan untuk menang adalah dengan memaksimalkan counter attack.

Ada berbagai cara untuk mengkreasikan serangan balik. Bisa disusun dengan diawali high pressing untuk merebut bola di area lawan, menggantung satu pemain pelari di depan, atau melalui umpan-umpan panjang.

Simeone memilih dua skema serangan balik untuk membunuh Barca, yaitu high pressing berujung serangan balik dan long passing. Namun kedua cara ini kurang efektif diterapkan dalam laga ini.

High press mereka dirusak oleh permainan mereka sendiri, yaitu tekel keras. Serangan balik pun urung terlaksana karena dihentikan oleh peluit wasit menyusul kerasnya pemain Atletico dalam merebut bola.

Umpan panjang ke area sepertiga akhir juga tak berbuah hasil. Dari 26 kali long pass Atletico, hanya tiga yang sampai ke teman sendiri. Itu pun dengan catatan bahwa tiga successful long pass itu tak sampai ke area final third.


Salah satu penyebab kegagalan itu adalah karena umpan lebih banyak diarahkan ke sayap, sementara Arda Turan dan Koke kurang cepat untuk kembali naik. Keluarnya Diego Costa juga membuat skema long ball Atletico gagal jika diarahkan ke tengah.

Pasalnya Diego Ribas dan David Villa lebih bertipikal seorang second striker yang menyisir dari lini kedua. Keduanya bukan target man yang siap menerima bola seperti Costa.

Simeone sendiri harus berterimakasih dengan insting Diego dalam melepaskan tendangan dari luar kotak penalti. Meski tendangan macam ini merupakan usaha spekulan, tetap butuh pemain dengan insting dan naluri gol yang tinggi untuk menciptakan gol seperti ini.

Barca Diselamatkan Rotasi Jitu

Ucapan terimakasih di kubu Barcelona memang bisa ditujukan untuk Neymar, pencetak gol penyama kedudukan pada menit ke-79. Namun, terciptanya gol ini tak lepas dari pergantian jitu yang dilakukan Tata Martino tiga menit sebelum gol Neymar tercipta.

Tata menarik keluar Fabregas, yang diplot sebagai gelandang, dan memasukkan Alexis Sanchez. Ini kemudian merubah pemain Barcelona baik secara taktikal, posisi, maupun peran.



Iniesta yang semula beroperasi di sayap kiri kini kembali diduetkan dengan Xavi di tengah. Sementara itu Neymar bergeser ke kiri dan Alexis ditempatkan di sayap kanan. Perubahan jitu ini berbuah hasil. Iniesta mampu mengirimkan assist sempurna kepada Neymar.


(Gambar proses gol Neymar)
Kredit juga layak diberikan kepada Iniesta dalam terciptanya proses gol di atas. Ia dengan cerdik mengirimkan umpan diantara dua garis pertahanan Atletico. Ruang terbuka antara dua bek tengah dan bek sayap kanan tim tamu bisa dimaksimalkannya dengan sempurna.

Sebenarnya, ruang lebar pada garis pertahanan Atletico ini bisa dibilang kelengahan. Secara keseluruhan, bek Atletico tampil disiplin dalam menjaga deffensive line-nya. Mereka tetap berusaha sejajar dalam mencegah masuknya aliran bola. Tapi, kehadiran Messi memang membuat dua bek tengah Atleti bekerja keras untuk menjaganya, sehingga kemudian tercipta ruang lebar tersebut.

Gambar peluang Barcelona di bawah ini juga membuktikan bahwa barisan pertahanan Atletico sangat disiplin. Dari 19 shots yang dihasilkan Barca, hanya 6 yang bisa dilakukan di dalam kotak penalti.

Sisanya adalah attempts dari luar kotak karena frustasinya Barca dengan rapatnya zonal marking Atletico.

Dari keenam peluang inside the box tersebut, dua yang mengarah ke gawang dihasilkan dari dua kali sundulan. Sementara tiga tendangan sukses diblok oleh bek Atletico dengan tekel-tekel beraninya. Hanya satu peluang Barca yang gagal ditahan bek Atletico, yaitu tendangan Neymar yang berujung gol.


(Gambar Attemps Barcelona)

Kesimpulan

‘Tekel-tekel’ Simeone memang sukses menghentikan tiki-taka Barcelona. Terbukti, pada musim ini, Barca empat kali gagal menundukkan Atletico.

Malah Atletico yang dapat mencuri satu gol away di leg pertama ini. Namun, taktik tekel keras ini beresiko tinggi karena malah bisa berbuntut hujan kartu kuning.

Andai tekel ini dilakukan dengan rapi dan bersih, bukan tak mungkin skema serangan balik yang disiapkan Atletico dapat terlaksana. Atau pertandingan bahkan bisa dimenangkan Atletico.

Untuk kubu Barcelona, mesti disadari bahwa beberapa tim kini sudah mulai menemukan formula untuk meredam tiki-taka. Tongkat perubahan ada di Tata. Ia bisa mengubahnya atau tetap menjalankan sesuai yang ada.

Andai ia tak berani mengubah pakem Barca ini, rotasi-rotasi jitu seperti di atas harus sering-sering dilakukan. Sebab, setiap klub yang melawan Barca tetaplah berpegangan dengan bagaimana cara menghentikan tiki-taka.

Minggu, 23 Februari 2014

menurut gue galau itu halal kok :p
tapi yang haram tuh galau yang lebaynya lebay banget pake banget
why??? because i think they have a doubt on their GOD that she/he believes
we all know that GOD always give the best not the worst, always give what they needed not what they wanted
so the point is galau itu boleh tapi secukupnya aja dan disertai dengan instropeksi diri :)
oiya, for my kryptonite i always waiting for you kok hehe
i always enjoy this "waiting moment" because i believe there is nothing useless in this world
NOTHING WITHOUT MEANING
toh ga rugi juga kok, kan bisa jadi pengalaman hehe
i still believe that every action has the equal reaction

OM OM OM

20-02-2014